30 July 2009

Obstructive Sleep Apnea

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam/hari. Gangguan tidur lebih sering ditemukan pada pria, mulai dari sleep walking, sleep paralysis, insomnia, narkolepsi, sampai sleep apnea. Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea (henti nafas pada waktu tidur), dan gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea adalah mendengkur.1

Mendengkur merupakan masalah sosial dan masalah kesehatan. Mendengkur merupakan masalah yang mengganggu pasangan tidur, menyebabkan terganggunya pergaulan, menurunnya produktivitas, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas dan peningkatan biaya kesehatan pada penderita OSA. Pendengkur berat lebih mudah menderita hipertensi, stroke dan penyakit jantung dibandingkan orang yang tidak mendengkur dengan umur dan berat badan yang sama.2,3,4

Menurut studi yang ada, mendengkur dan OSA meningkatkan risiko hipertensi dua hingga tiga kali, serta meningkatkan risiko dua kali lipat penyakit koroner atau serangan jantung. Pendengkur dan penderita OSA juga berisiko terserang stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak dengan OSA dan mendengkur.

Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria, usia pertengahan, dan obesitas. Di Amerika Serikat, prevalensi OSA pada kelompok usia di bawah 40 tahun adalah 25 persen pria dan 10 hingga 15 persen perempuan. Adapun pada kelompok usia di atas 40 tahun, prevalensinya mencapai 60 persen pada pria dan 40 persen pada perempuan.5

I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, komplikasi dan terapi dari obstructive sleep apnea.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Mendengkur (snoring) adalah suara bising yang disebabkan oleh aliran udara melalui sumbatan parsial saluran nafas pada bagian belakang hidung dan mulut yang terjadi saat tidur. Gangguan tidur dengan gelaja utamanya mendengkur adalah Obstructive Sleep Apnoea (OSA).6

Obstructive Sleep Apnea adalah sebuah gangguan tidur yang berarti henti nafas saat tidur dengan gejala utama mendengkur.7

Apnea didefinisikan sebagai ,henti nafas selama 10 detik atau lebih yang dapat mengakibatkan penurunan aliran udara 25% dibawah normal.8

II.2 Patofisiologi Mendengkur dan OSA

Faring adalah struktur yang sangat lentur. Pada saat inspirasi, otot-otot dilator faring berkontraksi 50 mili-detik sebelum kontraksi otot pernafasan sehingga lumen faring tidak kolaps akibat tekanan intrafaring yang negative oleh karena kontraksi otot dinding dada dan diafragma. Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Mengapa hal ini terjadi hanya pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu tidur. Faktor yang paling berperan adalah:

a. Obesitas

b. Pembesaran tonsil

c. Posisi relatif rahang atas dan bawah.9,10,11

Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas atas akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atas menstabilkan jalan nafas pada waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.6,11

Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer. Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu tertentu.6

Obstructive Sleep Apnoea (OSA) ditandai dengan kolaps berulang dari saluran nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur. Akibatnya aliran udara pernafasan berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi desaturasi oksigen (hipoksemia) dan penderita berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-kadang penderita benar-benar terbangun pada saat apnea di mana mereka merasa tercekik. Lebih sering penderita tidak sampai terbangun tetapi terjadi partial arousal yang berulang, berakibat pada berkurangnya tidur dalam atau tidur gelombang lambat. Keadaan ini menyebabkan penderita mengantuk pada siang hari, kurang perhatian, konsentrasi dan ingatan terganggu. Kombinasi hipoksemia dan partial arousal yang disertai dengan peningkatan aktivitas adrenergik menyebabkan takikardi dan hipertensi sistemik. Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase preobstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).12

II.3 Epidemiologi

OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell, lebih dari 50 tahun yang lalu13 dan kepentingan klinisnya saat ini semakin dikenali. Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita.14-17 Pria lebih sering mengalami OSA dan seringkali (tetapi tidak harus) juga menderita obesitas.10 Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita. Prevalensi OSA lebih rendah lagi pada wanita sebelum masa menopause dan wanita menopause yang mendapat terapi hormonal.18

Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.19 Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down.6 Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.15

Pada penelitian kesehatan kardiovaskular di Amerika Serikat yang meliputi 5000 penduduk berusia 65 tahun atau lebih, 33% pria dan 19% wanita mendengkur. Prevalensi mendengkur menurun pada kelompok usia di atas 75 tahun.20 Linberg et al. mendapatkan hasil yang hampir sama, di mana prevalensi mendengkur pada pria memuncak pada kelompok usia 50-60 tahun dan selanjutnya menurun.21 Sementara peneliti lain menemukan pada usia di atas 60 tahun, prevalensi OSA mencapai 45-62%. Di Nantes, Perancis, hampir 60% penduduk yang berusia 60-70 tahun mendengkur.22

II.4 Gambaran Klinis

Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.4,6

Apnea pada orang dewasa didefinisikan sebagai tidak adanya aliran udara di hidung atau mulut selama 10 detik atau lebih. Hipopnea didefinisikan sebagai berkurangnya aliran udara sebesar 30% selama 10 detik atau lebih, dengan atau tanpa desaturasi.24 Gastaut et al. menyatakan ada 3 jenis apnea:

1. Obstruktif, di mana aliran udara pernafasan terhenti tetapi gerakan dinding dada tetap ada.

2. Central, di mana aliran udara pernafasan dan gerakan dinding dada terhenti.

3. Campuran, merupakan kombinasi yang dimulai dengan tipe sentral diikuti dengan obstruksi.

Kemudian diketahui apnea tipe campuran pada dasarnya adalah obstruktif di mana gerak pernafasan tidak terdeteksi pada awal terjadinya apnea.

Gambar 1. Tipe Apnea

Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran akan kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese). Hanya sekitar 50% penderita yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas.

II.5 Diagnosis

Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif). Bahkan di negara-negara di mana OSA sudah dikenal luas, sejumlah besar individu dengan gejala OSA tetap tidak terdiagnosis. Contohnya di Amerika Serikat, pada sebuah survei yang dilakukan di masyarakat tahun 1997 dari 4925 orang dewasa sebanyak 82% pria dan 92% wanita kemungkinan menderita OSA sedang sampai berat yang belum terdiagnosis.26

Diagnosis OSA dibuat berdasarkan gangguan nafas yang ditemukan pada waktu tidur pada individu yang menunjukkan gejala terutama mengantuk pada siang hari dan mendengkur. OSA paling banyak diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep Medicine yaitu:

ringan (AHI 5-15)

sedang (AHI 15-30)

berat (AHI > 30)

Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI) dan beratnya hipoksemi seperti berikut:

RDI SaO2 (%)

· Mild 5-20 >85

· Moderate 21-40 65-84

· Severe >40 <65

Pada saat OSA baru dikenal, praktis semua pasien harus menjalani pemeriksaan polisomnografi di rumah sakit. Pemeriksaan polisomnografi meliputi pemeriksaan EEG, elektro-okulografi, elektromiografi, EKG, aliran nafas di hidung atau mulut, pulse oximetry, gerakan dinding dada dan posisi tidur yang menghasilkan apnea index (AI), apnea-hypopnea index (AHI) atau respiratory disturbance index (RDI). Cara ini kurang praktis dan tidak perlu dilakukan pada semua pasien. Saat ini pasien diperiksa dengan cara yang lebih sederhana menggunakan 4-6 sinyal. Biasanya dilakukan penilaian saturasi O2, aliran nafas, gerakan dada dan perut, dan kadangkadang denyut jantung dan dengkuran, tanpa EEG. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di rumah dan memadai untuk keperluan klinis.27,28

Teknik pemeriksaan telah dikembangkan untuk memperkirakan pasien mana yang lebih baik menjalani operasi atau menggunakan peralatan oral daripada menggunakan nasal continuous positive airway pressure. Untuk itu dilakukan pemeriksaan nasofaringoskopi rutin oleh ahli THT guna mengevaluasi saluran nafas atas, baik pada waktu penderita bangun ataupun tidur.

Gambar 2. Naso-Faringo-Laringoskopi

Sleep nasoendoscopy memungkinkan penilaian dinamis faring pada waktu tidur. Tempat di mana terjadi obstruksi dapat terlihat sehingga bisa dilakukan terapi yang spesifik, sesuai dengan tempat terjadinya sumbatan:

• Kavum nasi

• Palatum

• Basis lidah

• Dinding lateral faring

• Epiglotis

Gambar 3. Sleep Nasoendoscopy

Sumbatan yang ditemukan pada pemeriksaan sleep nasoendoscopy menurut Pringle dan Croft (1993) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

• Derajat 1 : hanya ditemukan vibrasi dari palatum

• Derajat 2 : hanya ditemukan obstruksi palatum

• Derajat 3 : obstruksi palatum dan perluasan ke orofaring yang intermiten

• Derajat 4 : obstruksi pada beberapa level

• Derajat 5 : hanya ditemukan obstruksi pada basis lidah

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menilai faring secara 3 dimensi adalah CT Scan dan MRI, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan secara rutin. Pemeriksaan cephalography menghasilkan gambaran dua dimensi dan dapat dipergunakan untuk menilai struktur maksilofasial.

II.6 Komplikasi

OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di antaranya:

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat, sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.

2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke

3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.

4. Metabolik: diabetes, obesitas.

5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.

6. Hematologis: polisitemia.17

Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.29

Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua komponen:

1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.

2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.

Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur.29 OSA dikenal sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA menyebabkan peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada kemungkinan peranan hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah pada penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron, disfungsi sel-sel endotel, dan gangguan fungsi barorefleks.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat (The Sleep Heart Study) yang dilakukan pada 6000 individu memperlihatkan asosiasi independen yang jelas antara OSA dan hipertensi, dan prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan beratnya OSA.

Penelitian lain di Amerika Serikat (The Wisconsin Cohort Study) yang dilakukan pada 1069 pasien dan follow up-nya pada 893 pasien menemukan bahwa AHI (Apnea-Hypopnea Index) merupakan faktor independen untuk prediksi terjadinya hipertensi. OSA sering ditemukan pada pasien-pasien hipertensi yang refrakter terhadap pengobatan. Sebaliknya, control hipertensi dengan terapi konvensional lebih sulit dilakukan pada penderita OSA dibandingkan pada penderita hipertensi yang tidak mengalami OSA.30

OSA berperan penting dalam patogenesis hipertensi. Deteksi dan terapi OSA perlu dilakukan dalam manajemen hipertensi untuk mencapai hasil yang optimal. Dokter harus mewaspadai OSA sebagai penyebab hipertensi yang reversibel dan dapat diterapi.

OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:

· Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres oksidatif.

· Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan respons peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6.31

Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada selsel endotel diduga berperan pada terjadinya disfungsi sel endotel, pembentukan aterosklerosis dan bekuan darah.

Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari hipertensi, aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan koagulopati dan respons inflamasi.

Peneliti lain memperlihatkan kemungkinan hubungan antara mendengkur, bukan dalam kerangka OSA dengan penyakit kardiovaskuler. Jennum et al (1992 & 1995) menekankan bahwa hubungan mendengkur dan penyakit kardiovaskular berkaitan dengan faktor risiko lain seperti misalnya obesitas. Mereka menyimpulkan bahwa mendengkur tidak secara independen berhubungan dengan penyakit jantung iskemik. Tetapi D’Alessandro et al. (1990) menyimpulkan bahwa orang yang mendengkur tanpa bukti adanya henti nafas mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami infark miokard. Bahkan Hu et al. (2000) yang melakukan penelitian prospektif dengan jumlah sampel yang besar menemukan bahwa mendengkurmerupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler termasuk stroke. Koskenvuo et al. (1987), Zamarron et al. (1999) dan Leineweber et al. (2004) berpendapat penyempitan saluran nafas yang menyebabkanmendengkur walaupun tidak disertai dengan Obstructive Sleep Apnoea (OSA) dapat mengakibatkan gangguan kesehatan berupa hipertensi,

penyakit jantung iskemik, stroke dan peningkatan angka kematian.32

Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA dan potensi efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan dilakukan pada penderita stroke.33

Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus arrest, dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.

Sebagai kesimpulan, terdapat hubungan yang kompleks antara OSA dan penyakit kardiovaskuler. Pengetahuan mengenai mekanisme tentang hubungan kedua kondisi ini masih terus berkembang. Hubungan antara hipertensi dan OSA terlihat dengan jelas. Walaupun data belum dapat memperlihatkan mekanisme pasti antara OSA dan penyakit jantung iskemik dan patologi kardiovaskuler lainnya, OSA tetap merupakan salah satu factor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. Terapi terhadap OSA memperbaiki efek negatif OSA pada sistem kardiovaskuler. Dokter yang menangani penderita penyakit kardiovaskuler harus waspada akan kemungkinan adanya OSA dan paham bahwa sebagian besar penderita OSA tidak terdiagnosis atau tidak mendapat terapi yang adekuat. Terapi yang efektif pada penderita OSA dapat membantu pengobatan penyakit kardiovaskuler yang menyertainya, meniadakan pemeriksaan yang tidak perlu dan mengurangi biaya pelayanan kesehatan.

Selain mengakibatkan gangguan kesehatan, OSA juga mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial, produktivitas dan juga meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penelitian epidemiologis memperlihatkan angka kejadian OSA relatif tinggi pada pengemudi truk dan terapi OSA memperbaiki kemampuan berkendara.34

Penderita OSA menjadi beban yang berat bagi sistem pelayanan kesehatan di negara maju sebelum diagnosis berhasil ditegakkan dan mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan bertambah besar. Diperkirakan OSA yang belum diterapi menimbulkan tambahan biaya kesehatan sebesar 3,4 juta dolar AS setiap tahunnya.

II.7 Terapi

A. Terapi Non-Bedah

Pada pertengahan abad yang lalu, terapi OSA hanya trakeostomi. Trakeostomi secara komplet dapat mem-bypass bagian saluran nafas yang mengalami penyempitan atau sumbatan pada waktu tidur. Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al. memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip nCPAP sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga menekan suara dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari. Efektifitas pengobatan dengan cara ini mencapai 90-95%.17


Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan. Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga, dan medikamentosa. Walaupun berat badan dapat dikurangi, tetapi seringkali tidak dapat bertahan lama. Dapat dipertimbangkan tindakan yang lebih radikal seperti operasi bypass lambung pada penderita obesitas berat.

Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup (pronasi). Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula.


Gambar 6. Mandibular Splint

Pemberian oksigen sebagai terapi OSA tidak efektif. Walaupun cara ini dapat membantu mengatasi desaturasi oksihemoglobin, tetapi tidak dapat mengatasi obstruksi. Oksigen menyebabkan frekuensi apnea berkurang, tetapi juga mengakibatkan apnea yang terjadi bertambah lama waktunya. Terapi oksigen mungkin dapat bermanfaat bagi pasien yang tidak dapat menerima terapi lain.

B. Terapi Bedah

Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.

Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:

1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi CPAP.

2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak sebaik CPAP pada penderita OSA yang berat. Angka keberhasilan dengan teknik ini mencapai 10-15%.17 Morbiditas yang tinggi akibat operasi uvulopalatofaringoplasti konvensional dapat dihindari dengan menggunakan laser atau dengan menggunakan radiofrekuensi coblation. Hasilnya dalam jangka pendek cukup baik, walaupun dapat terjadi rekurensi dalam jangka panjang.34

3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.

4. Tindakan bedah pada mandibula atau maksila (maxillomandibular osteotomy dan advancement).

5. Lidah: lingual tonsillectomy, laser midline glossectomy, lingualplasti dan ablasi massa lidah dengan teknik radiofrekuensi.

6. Kadang-kadang perlu dilakukan hyoid myotomy and suspension.

7. Teknik terbaru menggunakan alat somnoplasty dengan radiofrekuensi Celon® atau Coblation®, dan pemasangan implan Pillar® pada palatum. Teknik radiofrekuensi menghasilkan perubahan ionik pada jaringan, menginduksi nekrosis jaringan sehingga menyebabkan reduksi volume palatum tanpa kerusakan pada mukosa dan menghilangkan vibrasi (kaku).

Gambar 7. Teknik Radiofrekuensi (Celon atau Coblation)

`Implan Pillar® atau implan palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.

Gambar 8. Implan Pillar®

BAB III

KESIMPULAN

1. Obstructive sleep apnea adalah sebuah gangguan tidur yang berarti henti nafas saat tidur dengan gejala utama mendengkur.

2. OSA terjadi karena lidah dan palatum jatuh ke belakang sehingga terjadi obstruksi.

3. Gejala dari OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari.

4. Diagnosis OSA paling banyak diklasifikasikan menurut American Academy of Sleep Medicine.

5. Komplikasi dari OSA adalah hipertensi, serangan jantung dan stroke.

6. Terapi OSA adalah terapi non bedah dan terapi bedah.


DAFTAR PUSTAKA

1. Pang KP. Snoring–the Silent Killer. Medical Digest 2005.

2. Engleman HM, Douglas NJ. Sleepiness, cognitive function, and quality of life ini obstructive sleep apnoea/hypopnoea syndrome. Thorax 2004; 59: 618-22.

3. Kapur V, Blough DK, Sandblom RE et al. The medical cost of undiagnosed sleep apnea. Sleep 1999; 22: 749-55.

4. Dincer HE, O'Neill W. Deleterious effects of sleep-disordered breathing on the heart and vascular system. Respiration 2006; 73: 124-30.

5. Yuan, 2007. Mendengkur Bisa Membunuh Diam-Diam. Diakses dari http://www.dechacare.com/Mendengkur-Bisa-Membunuh-Diam-diam-I89.html.

6. Kotecha B, Shneerson JM. Treatment options for snoring and sleep apnoea. Journal of The Royal Society of Medicine 2003; 96: 343– 4.

7. Prasadja A, 2009. Pencekik Ditengah Malam. Diases dari http://sleepclinicjakarta.tblog.com/post/1970062265

8. Saimak T., 2009. Sleep Apnea. Diakses dari http://www.emedicinehealth.com/obstructive_and_central_sleep_apnea/article_em.htm.

9. Hudgel DW, Harasick T. Fluctuation in timing of upper airway and chest wall inspiratory muscle activity in obstructive sleep apnea. J Appl Physiol 1990; 69: 443-50.

10. White DP. The pathogenesis of obstructive sleep apnea: advances in the past 100 years. Am J Respir Cell Mol Biol 2006; 34: 1-6.

11. Wolkove N, Elkholy O, Baltzan M, Palayew M. Sleep and aging: Sleep disorders commonly found in older people. Can Med Assoc J2007; 176(9): 1299-303.

12. Mazza S, Pepin JL, Naegele B, Plante J, Deschaux C, Levy P. Most obstructive sleep apnoea patients exhibit vigilance and attention deficits on an extended battery of tests. Eur Respir J 2005; 25: 75-80.

13. Bickelmann AG, Burwell CS, Robin ED, Whaley RD. Estreme obesity associated with alveolar hypoventilation: a Pickwickian syndrome. Am J Med 1956; 21: 811-8.

14. Young T, Palta M, Dempsey J et al. The occurence of sleepdisordered breathing among middle-aged adults. N Engl J Med 1993;328: 1230-5.

15. Young T, Peppard PE, Gottlieb DJ. Epidemiology of obstructive sleep apnoe: a population health perspective. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165: 1217-39.

16. Stradling JR, Davies RJO. Obstructive sleep apnoea/hypopnoea syndrome: definitions, epidemiology, and natural history. Thorax 2004; 59: 73-8.

17. Gibson GJ. Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and undertreated. Brit Med Bulletin 2005; 72: 49-64.

18. Bixler EO, Vgontzas AN, Lin HM et al. Prevalence of sleepdisordered breathing in women: effects of gender. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 608-13.

19. Ali N, Pirson D, Stradling J. The prevalence of snoring, sleep disturbance and sleep related breathing disorders and their relation to daytime sleepiness in 4-5 year old children. Am Rev Respir Dis 1991;143: A381.

20. Lindberg E, Taube A, Janson C et al. A 10-year follow-up of snoring in men. Chest 1998; 114: 1048-55.

21. Ancoli-Israel S, Aayalon L. Diagnosis and treatment of sleep disorders in older adults. Am J Geriatr Psychiatry 2006; 14: 95-103.

22. Dealberto MJ, Pjor N, Courbon D et al. Breathing disorders during sleep and cognitive performance in an older community sample: the EVA study. J Am Geriatr Soc 1996; 44: 1287-94)

23. Coltman R, Taylor DR, Whyte K, Harkness M. Craniofacial form and obstructive sleep apnea in Polynesian adn Caucasian men. Sleep 2000; 23: 943-50.

24. Meoli AL, Casey KR, Clark RW, Clinical Practice Review Committee et al. Hypopnoe in sleep-disordered breathing in adults. Sleep 2001;24:469-70.

25. Gastaut H, Tassinari CA, Duron B. Polygraphic study of the episodic diurnal and nocturnal (hypnic and respiratory) manifestations of the Pickwick Syndrome. Brain Res 1966; 1: 167-86.

26. Mortimore IL, Marshall I, Wraith PK et al. Neck and total body fat deposition in non-obese and obese patients with sleep apnoea compared with that in control subjects. Am Respir Crit Care Med 1998; 157: 280-3.

27. American Academy of Sleep Medicine. Sleep related breathing disorders in adults: recommendation for syndrome definition and measurement techniques in clinical research. Sleep 1999; 22: 667-89.

28. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of obstructive sleep apnoea/hypopnoea syndrome in adults. 2003.

29. Shamsuzzaman AS, Gersh BJ, Somers VK. Obstructive sleep apnea: implications for cardiac and vascular disease. JAMA 2003; 290: 1906-14.

30. Hirshkowitz M, Karaca I, Gurakar A et al. Hypertension, erectile dysfunction and occult sleep apnea. Sleep 1989; 12: 223-32.

31. Shamsuzzaman AS, Winnicki M, Lanfranchi P et al. Elevated Creactive protein in patients with obstructive sleep apnea syndrome. Circulation 2002;105: 2462-4.

32. Leineweber C, Kecklund G, Janazky I et al. Snoring and progression of coronary artery disease: the Stockholm Female Coronary Angiography Study. Sleep 2004; 27: 1344-9.

33. Disler P, Hansford A, Skelton J et al. Diagnosis and treatment of obstructive sleep apnea, in a stroke rehabilitation unit: a feasibility study. Am J Phys Med Rehabil 2002; 81: 622-5.

34. European Respiratory Task Force. Public health and medicolegal implications of sleep apnoea. Eur Respir J 2002; 20: 1594-609.

35. Committee Advisory, 2005. Sleep Apnea-Assesment and Management of Obstructive Sleep Apnea in Adult. Diakses dari http://www.bcguidelines.ca/gpac/pdf/apnea.pdf